Beranda

Rabu, 28 Oktober 2015

PEMBELAJARAN AKIDAH AKHLAK DI MADRASAH IBTIDAIYAH



A.    Pembelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah
1.      Pembelajaran
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SD/MIM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( instruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Belajar menurut Abdul Mukti mempunyai beberapa dimensi, yaitu: pertama belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relative tetap dalam diri seseorang sesuai tujuan yang diharapkan. Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat komulatif. Ketiga belajar merupakan proses aktif konstruktif yang terjadi melalui mental proses. Mental proses adalah serangkaian proses kognitif yang meliputi persepsi (perception), perhatian (attention), mengingat (memori), berpikir (thinking, reasoning) memecahkan masalah dan lain-lain.[1]
Pembelajaran mempunyai arti yang sangat berbeda. Belajar menurut Morris L. Bigge seperti yang dikutip Max Darsono, dkk. Adalah perubahan yang menetap dalam diri seseorang yang tidak dapat diwariskan secara genetis. Selanjutnya Morris menyatakan bahwa perubahan itu terjadi pada pemahaman (insight), perilaku, persepsi, motivasi, atau campuran dari semuanya secara sistematis sebagai akibat pengalaman dalam situasi-situasi tertentu.[2]
Pembelajaran menurut Oemar Hamalik adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, internal material fasilitas perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.[3]
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi. Menurut D. Sudjana Pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.[4] Pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan terencana yang mengondisikan / merangsang seseorang agar dapat belajar dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran.[5] Dari pengertian tersebut nampak bahwa pembelajaran adalah proses yang kompleks, didalamnya mencakup proses / kegiatan belajar dan kegiatan mengajar.
Sedangkan Mulyasa berpendapat, pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan individu.[6]
Adapun beberapa ciri-ciri pembelajaran yaitu :
a.      Memiliki tujuan yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
b.      Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode, dan tehnik yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c.      Materi jelas, terarah dan terencana dengan baik.
d.     Adanya activitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya pembelajaran.
e.      Actor guru yang cermat dan tepat.
f.       Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan anak didik dalam proporsi masing-masing.
g.      Adanya waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
h.      Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.[7]
            Sedangkan teori pembelajaran Menurut Bruner ada dua yaitu preskriptif dan deskriptif. Dikatakan teori preskriptif karena tujuan utama dalam pembelajaran adalah menetapkan strategi dan metode pembelajaran yang optimal dalam melakukan pembelajaran aqidah  dan dikatakan deskriptif karena tujuan utama teori ini  adalah bagaimana menetukan hasil belajar atau memeriksa proses belajar yang akan meraih suatu perubahan pada peserta didik. Teori deskriptif menaruh perhatian pada hubungan  bagaimana menentukan hasil belajar (perubahan) atau sebagaimana seseorang belajar untuk menggapai suatu  perubahan tersebut. Teori preskriptif yaitu menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar. Teori preskriptif adalah suatu teori yang disebut goal oriented yang berarti untuk mencapai tujuan, sedangkan teori deskriptif adalah suatu teori yang disebut goal free yang berarti untuk memberikan atau menentukan hasil.[8]
Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.
Secara substansial mata pelajaran Akidah Akhlak memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan akhlak al-karimah sejak dini oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam rangka mengantisipasi dampak negatif era globalisasi dan krisis multi dimensional yang melanda bangsa dan negara Indonesia
.
2.      Pengertian Akidah Akhlak
Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Dalam Buku, Suplemen Ensiklopedi Islam ( 2002 : 24),  kata Aqidah berakar dari kata ‘ aqada-ya’qidu, yang berarti menyimpulkan atau mengikatkan tali dan mengadakan perjanjian. Dari kata ini muncul bentuk lain, seperti I’tiqada-ya’taqidu dan I’tiqad, yang berarti mempercayai, menyakini, dan keyakinan.
Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh keragu-raguan.
Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegang oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [خلق] jamaknya [أخلاق] yg artinya tingkah laku, perangai, tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Bahasa Indonesia[9], akhlak dapat diartikan budi pekerti, tabiat, kelakuan, watak.  Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.
Akhlak ataupun budi pekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat syaitoniah, berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Menghindarkan diri dari sifat-sifat kecurangan, kerakusan dan kezaliman. Manusia yang berakhlak mulia, suka tolong menolong sesama insan dan makhluk lainnya. Nabi s.a.w. bersabda yang maksudnya adalah : "Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budi pekerti (akhlak) yang mulia." (H.R.Ahmad).
Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya. Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud: "Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya." (H.R.Ahmad).
3.      Dasar Akidah Akhlak
Dasar Akidah Akhlak dalam hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al Hadits adalah pedoman hidup dlm Islam yg menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia. Dasar aqidah akhlak yang pertama dan utama adalah Al Qur’an dan ketika ditanya tentang aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW, Siti Aisyah berkata.” Dasar aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al Qur’an.”
Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut merujuk dalam Al Qur’an. Karena Al Qur’an merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim.
Dasar aqidah akhlak yang kedua bagi seorang muslim adalah Al Hadits atau Sunnah Rasul. Untuk memahami Al Qur’an lebih terinci, umat Islam diperintahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh setiap umat Islam (orang muslim).
4.      Tujuan Akidah Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah
Mata  pelajaran  Akidah  Akhlak  di  Madrasah  Ibtidaiyah  bertujuan  untuk membekali  peserta   didik  agar  dapat :
a)      Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang sejak lahir. Dengan naluri ketuhanan, manusia berusaha untuk mencari Tuhannya, kemampuan akal dan ilmu yang berbeda-beda memungkinkan manusia akan keliru mengerti Tuhan. Dengan aqidah akhlak, naluri atau kecenderungan manusia akan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berkembang dengan benar
b)      Aqidah akhlak bertujuan pula membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan. Oleh karena itu, perwujudan dari pribadi muslim yang luhur berupa tindakan nyata menjadi tujuan dalam aqidah akhlak.
c)      Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran.
5.      Hubungan Antara Aqidah dan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika seseorang beraqidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun tidak akan benar. Aqidah seseorang benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan benar.
Adapun yang dapat menyempurnakan aqidah dengan benar terhadap Allah adalah beraqidah dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka. Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang mereka bawa disertai dengan keyakinan akan adanya hari Ahkir dan qodha qodar.
6.      Ruang lingkup Mata Pelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah
Mata  pelajaran  Akidah  Akhlak  di  Madrasah  Ibtidaiyah  berisi  pelajaran  yang dapat  mengarahkan   kepada  pencapaian  kemampuan  dasar  peserta  didik  untuk   dapat  memahami  rukun  iman  dengan  sederhana  serta  pengamalan  dan  pembiasaan  berakhlak Islami secara sederhana  pula,  untuk  dapat  dijadikan  perilaku  dalam  kehidupan  sehari - hari  serta  sebagai  bekal  untuk  jenjang  pendidikan berikutnya.
Ruang lingkup mata pelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah  meliputi:
a.       Aspek akidah (keimanan) meliputi:
1)      Kalimat thayyibah sebagai materi pembiasaan, meliputi: Laa ilaaha illallaah, basmalah, alhamdulillah, subhanallah, Allahu Akbar, ta’awudz, maasya Allah, assalamu’alaikum, salawat, tarji’, laa haula walaa quwwata illa billah, dan istighfar.
2)      Al-asma’ al-husna sebagai materi pembiasaan,  meliputi:  al-Ahad,  al-Khaliq,  ar-Rahman, ar-Rahiim,  as-Sami’,  ar-Razzaaq,  al-Mughnii,  al-Hamid,  asy-Sakuur,  al-Qudduus,  ash-Shamad,  al-Muhaimin, al-‘Azhiim,  al-Kariim,  al-Kabiir,  al-Malik,  al-Bathiin,  al-Walii,  al-Mujiib,  al-Wahhab,  al-‘Aliim,  ash-Zhaahir, ar-Rasyiid, al-Haadi, as-Salaam,  al-Mu’min,  al-Latiif,  al-Baaqi,  al-Bashiir,  al-Muhyi,  al-Mumiit,  al-Qawii,  al-Hakiim,  al-Jabbaar,  al-Mushawwir,   al-Qadiir,  al-Ghafuur,  al-Afuww,  ash-Shabuur, dan al-Haliim.
3)      Iman kepada Allah dengan pembuktian sederhana melalui kalimat tayyibah, al-asma’ al-husna  dan  pengenalan  terhadap  shalat  lima  waktu  sebagai manifestasi iman kepada Allah.
4)      Meyakini rukun iman (iman kepada  Allah,  Malaikat - malaikat-Nya,  Kitab - kitab-Nya,  Rasul-rasul-Nya,  dan  Hari  akhir serta  Qada  dan  Qadar Allah).
b.      Aspek akhlak meliputi:
1)      Pembiasaan  akhlak  karimah  (mahmudah)  secara  berurutan disajikan  pada  tiap  semester dan  jenjang  kelas,  yaitu:  disiplin,  hidup  bersih,   ramah,  sopan - santun,  syukur  nikmat,  hidup  sederhana,  rendah  hati,  jujur,  rajin,  percaya  diri,  kasih  sayang,  taat,  rukun,  tolong-menolong,  hormat  dan  patuh,  sidik,  amanah,  tablig,  fathanah,  tanggung  jawab,  adil,  bijaksana,  teguh  pendirian,  dermawan,  optimis, qana’ah, dan tawakal.
2)      Mengindari akhlak tercela (madzmumah) secara berurutan disajikan pada tiap semester dan jenjang kelas, yaitu: hidup kotor, berbicara jorok/kasar, bohong, sombong, malas, durhaka, khianat, iri, dengki, membang kang, munafik, hasud, kikir, serakah, pesimis, putus asa, marah, fasik, dan murtad.
c.       Aspek adab Islami, meliputi:
1)      Adab terhadap diri sendiri, yaitu: adab mandi, tidur, buang air besar / kecil,  berbicara,  meludah,  berpakaian,  makan,  minum,  bersin,  belajar,  dan  bermain.
2)      Adab terhadap Allah, yaitu: adab di masjid, mengaji, dan beribadah.
3)      Adab kepada sesama, yaitu: kepada orang tua, saudara, guru, teman,  dan tetangga.
4)      Adab terhadap lingkungan, yaitu:  kepada  binatang  dan  tumbuhan,  di  tempat  umum, dan di jalan.
d.      Aspek kisah teladan, 
Aspek dari kisah teladan meliputi:  Kisah  Nabi  Ibrahim  mencari  Tuhan,  Nabi Sulaiman dengan  tentara  semut, masa kecil Nabi  Muhammad  SAW,  masa  remaja  Nabi  Muhammad  SAW,  Nabi Ismail,  Kan’an,  kelicikan  saudara-saudara  Nabi  Yusuf AS,  Tsa’labah,  Masithah,  Ulul  Azmi,  Abu  Lahab,  Qarun, Nabi Sulaiman  dan umatnya, Ashabul Kahfi,  Nabi  Yunus,  dan  Nabi  Ayub.  Materi  kisah-kisah teladan  ini  disajikan  sebagai  penguat  terhadap isi  materi,  yaitu  akidah  dan akhlak,  sehingga tidak  ditampilkan  dalam  Standar  Kompetensi,  tetapi  ditampilkan  dalam  Kompetensi  Dasar  dan  Indikator. 
7.      Model, Metode dan Pendekatan dalam pembelajaran Akidah Akhlak
a.    Model pembelajaran Akidah Akhlak
Istilah model dapat diartikan sebagai tampilan grafis, prosedur kerja yang teratur atau sistematis, serta mengandung pemikiran bersifat uraian atau penjelasan berikut saran. Uraian atau penjelasan menunjukkan bahwa suatu model disain pembelajaran menyajikan bagaimana suatu pembelajaran dibangun atas dasar teori-teori seperti belajar, pembelajaran, psikologi, komunikasi, sistem, dan sebagainya.[10]
Sedangkan Model Mengajar  menurut Joyce And Weil  (2000:13) dalam Sagala (2009:176) adalah suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, desain dan unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar, melalui program computer.[11] Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan keerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.[12]
Jadi Model pembelajaran Akidah Akhlak adalah pola atau rencana yang dapat digunakan untuk mengoperasikan kurikulum, merancang materi pembelajaran dan untuk membimbing belajar dalam setting kelas atau lainnya dalam menyiapkan dan memberi pengalaman belajar peserta didik untuk mengenal, memahami menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari – hari.
Dalam suatu pembelajaran ada beberapa komponen yang harus diperhatikan oleh guru untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran diantaranya strategi, pendekatan, model, metode, maupun tekhnik serta taktik dalam pembelajaran. Begitu pula dalam pembelajaran aqidah akhlak sangat penting untuk guru memperhatikan beberapa aspek komponen tersebut.
Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip - prinsip pendidikan, teori- teori psikologis, sosiologis, psikiatri, analisis sistem, atau teori- teori lain ( Joyce dan Weil,1992), lebih lanjut Joyce dan Weil mempelajari model – model pembelajaran berdasarkan teori belajar yang dikelompokkan menjadi 4 model pembelajaran :
1)      Model Interaksi Sosial
Model interaksi sosial menekankan pada hubungan personal dan sosial kemasyarakatan diantara peserta didik. Model tersebut berfokus pada peningkatan kemampuan peserta didik untuk berhubungan dengan orang lain. Model interaksi sosial ini mencakup strategi pembelajaran sebagai berikut:
a)         Kerja kelompok bertujuan mengembangkan keterampilan berperan serta dalam proses bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal dan discovery aktif dalam bidang akademik
b)        Pertemuan kelas bertujuan mengembangkan pemahaman mengenal diri sendiri dan rasa tanggung jawab baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kelompok
c)         Pemecahan masalah sosial atau inquiry sosial bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah – masalah sosial dengan cara berpikir logis .
d)        Bermain peran bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik menemukan nilai – nilai sosial dan pribadi melalui situasi tiruan
e)         Simulasi sosial bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami berbagai kenyataan sosial serta menguji reaksi mereka
2)   Model Pemrosesan informasi
a)         Melakukan tindakan untuk menarik perhatian peserta didik
b)        Memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran dan topik yang akan dibahas.
c)         Merangsang peserta didik untuk memulai aktifitas pembelajaran
d)        Menyampaikan isi pembelajaran sesuai dengan topik yang telah dirancang
e)         Memberikan bimbingan bagi aktifitas peserta didik dalam pembelajaran
f)         Memberikan penguatan pada perilaku pembelajaran
g)        Memberikan feedback terhadap perilaku yang ditunjukkan peserta didik
h)        Melaksanakan penilaian proses dan hasil
i)          Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan menjawab berdasarkan pengalamannya
3)   Model Personal ( Personal models),
Model personal menekankan pada pengembangan konsep diri setiap individu.  Hal ini meliputi pengembangan proses individu dan membangun serta mengorganisasikan dirinya sendiri. Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu terorientasi pada pengembangan individu. Perhatian utamanya pada emosional peserta didik dalam mengembangkan hubungan yang produktif  dengan lingkungannya. Model ini menjadikan pribadi peserta didik mampu membentuk hubungan harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Menurut teori ini, guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar peserta didik merasa bebas dalam belajar mengembangkan diri baik emosional maupun intelektual .
4)   Model modifikasi tingkah laku (Behavioral)
Model Behavioral menekankan pada perubahan perilaku yang tampak dari peserta didik sehingga konsisten dengan konsep dirinya. Model ini bertitik tolak pada teori Behavioristik, yaitu bertujuan mengembangkan sistem yang efesien untuk mengurutkan tugas – tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan implementasi dari modifikasi tingkah laku ini adalah meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak. Guru selalu perhatian terhadap tingkah laku belajar peserta didik. Modifikasi tingkah laku anak yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai penguatan pendukung.[13]
Selain model diatas, Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) dalam materi Aqidah Akhlak juga dapat digunakan sebagai salah salah satu alternative pilihan dalam pembelajaran, karena dengan Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning)  diharapkan akan mampu menjawab persoalan sosial kemasyarakatan, sekaligus mencegah perlakuan individu yang bersifat negative yang menimpa manusia masa kini.
Pembelajaran kooperatif, menurut  Yatim Riyanto, “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal skill”.[14] Selanjutnya Abuddin Nata menyebutkan bahwa; “Model pembelajaran cooperative learning adalah model pembalajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pendekatan pembelajaran yang bersifat kelompok”.[15]
Model pembelajaran kooperatif ini dapat diaplikasikan dalam pembelajaran Akhlak.  Langkah-langkah dalam penerapan model pembelajaran kooperatif adalah berikut ini :
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif.
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan atau media lainnya
Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
Guru membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan kegiatan secara efisien
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru menghargai upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

b.      Metode Pembelajaran
Dalam pelajaran akidah akhlak ada dua jenis kompetensi untuk diterapkan yaitu mengenal dan membiasakan. Mengenal merujuk pada ranah kognif aspek analisis, sedangkan membiasakan juga merujuk pada ranah kognitif aspek penerapan. Kata kerja membiasakan bisa diganti dengan mendemonstrasikan, karena dengan mendemonstrasikan anak dituntut untuk dapat memahami, menghayati dan nantinya dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bilamana menggunakan kata kerja membiasakan, pembelajaran di kelas cenderung tidak ada unsur psikomotoriknya. Jadi, akan lebih baik menggunakan kata kerja operasional: mendemonstrasikan (psikomotorik-gerakan), mempraktik- kan (ranah afeksi-partisipasi), menampilkan (ranah afeksi-partisipasi). Metode Pembelajaran Bidang Studi Aqidah Akhlak. Dalam menerapkan metode sangat bergantung pada tujuan, bahan dan pelaksanaan dari pembelajaran itu sendiri. Beberapa metode pembelajaran yang dapat dipergunakan oleh pengajar antara lain:
1)      Metode Ceramah
Metode ceramah adalah ”penerangan atau penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya”. Metode ini sering dipergunakan dan dijadikan pilihan utama di dalam pembelajaran kepada anak didik. Metode ini tepat untuk digunakan dalam menghadapi siswa yang banyak dan pengajar ingin memberikan topik baru dan tidak ada sumber-sumber pelajaran lain pada siswa.
2)      Metode Tanya Jawab
Yaitu suatu metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa.
3)      Metode Diskusi
Menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya dalam bukunya “Strategi Belajar Mengajar”, diskusi adalah: “Suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Diskusi tidak sama dengan berdebat, diskusi selalu diarahkan kepada pemecahan masalah yang menimbulkan berbagai macam pendapat dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh anggota dalam kelompoknya”.
Nana Sudjana memberikan pengertian diskusi adalah “tukar menukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama”.


4)      Metode Pemberian Tugas Belajar (Resitasi)
Pemberian tugas belajar dan resitasi ialah suatu cara mengajar di mana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa ole guru dan murid mempertanggung-jawabkannya.
5)      Metode Demonstrasi dan Eksperimen
Yaitu ”suatu metode mengajar di mana guru atau orang lain yang sengaja diminta atau murid sendiri memperlihatkan pada seluruh kelas tentang suatu proses atau suatu kaifiyah melakukan sesuatu”. Metode ini merupakan metode umum yang sering digunakan dalam pembelajaran, selain metode-metode tersebut masih banyak metode-metode lain yang dapat dipakai.
c.    Pendekatan Pembelajaran Aqidah Akhlak
1)      Pendekatan Keimanan
Yaitu mendorong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah Swt sebagai sumber kehidupan.
2)      Pendekatan Pengalaman
Yaitu mengkondisikan peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Pendekatan Pembiasaan
Yaitu melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits serta dicontohkan oleh para ulama.
4)      Pendekatan Rasional
Yaitu usaha meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran Aqidah dan Akhlak dengan pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai-nilai yang ditanamkan mudah dipahami dengan penalaran.
5)      Pendekatan Emosional
Yaitu upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati aqidah dan akhlak mulia sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik.
6)      Pendekatan Fungsional
Yaitu menyajikan materi aqidah dan Akhlak yang memberikan manfaat nyata bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
7)      Pendekatan Keteladanan
Yaitu pembelajaran yang menempatkan dan memerankan guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan; sebagai cerminan dari individu (siswa) yang memiliki keimanan teguh dan berakhlak mulia.
8.      Implementasi Pembelajaran Aqidah akhlak di MI
Pendidikan akidah akhlak pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah ( MI ) terfokus pada bahan – bahan pelajaran yang dapat mengarahkan pada pencapaian kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman dengan sederhana serta pengamalan dan pembiasaaan berakhlak islami secara sederhana, untuk dapat dijadikan landasan perilaku dalam kehidupan sehari – hari serta sebagai bekal untuk jenjang pendidikan berikutnya. Mata pelajaran akidah akhlak bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlaknya yang terpuji  melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang akidah dan akhlak islam.
Adapun materi dan pembelajaran penanaman akhlak hendaknya menjadi nomor satu. Aqidah yang mengakar menjadi pondasi dan akhlak yang mendasar menjadi prestasi. Pembelajaran aqidah akhlak, harus diatur sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan produk yang baik. Produk yang baik bukan hanya secara pengatahuan saja akan tetapi secara aplikasi dilapangan juga baik.
9.        Karakteristik dan perkembangan belajar siswa pada Madrasah Ibtidaiyah
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “tabiat, sifat-sifat kejiwaan, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah mempunyai  berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.[16]
Adapun karakeristik dan kebutuhan peserta didik sebagai berikut:
a.       Senang bermain.
Karakteristik ini menuntut guru SD/MI untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih – lebih untuk kelas rendah. Guru SD/MI seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai.
b.      Senang bergerak.
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD/MI dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
c.       Senang bekerja dalam kelompok.
Dari pergaulanya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.  Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
d.      Senang merasakan atau melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung.
Ditunjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD/MI memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD/MI, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung ke luar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.[17]
10.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Belajar Usia MI
a.    Faktor Internal
“Factor internal ini dipengaruhi oleh unsur kognitif dan fisiologis otak. Kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Aspek kognitif merupakan sisi internal yang bertanggungjawab atas proses pembelajaran. Dengan kemampuan kognitif ini anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan mereka tentang dunia.”
a)      Karakteristik anak usia MI secara umum
Piaget memandang, bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuan dan pemahamannya mengenai realitas. Anak yang lebih berperan aktif dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh melalui pengalaman. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang berdasarkan priode-priode yang terus bertambah kompleks. Menurut tahapan piaget, setiap individu akan melalui serangkaian perubahan kualitatif. Perubahan ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur berfikir.
Perkembangan kognisi atau intelektual anak berjalan secara gradual, bertahap dan berkelanjutan seiring bertambahnya umur. Walaupun dalam perkembangan kognisi pada usia-usia tertentu memiliki pola umum, tetap ada peluang bahwa sebagian anak menunjukkan perkembangan lebih awal dari pola umum tersebut. Rata-rata umumnya perkembangan kognisi anak usia MI berkisar antara 6-13 tahun mulai dari kelas 1 sampai 6. Masa ini diidentifikasi oleh piaget sebagai period ke-3 dari empat periode schemata kognisi. Keempat priode tersebut adalah:
1)      Periode sensorimotor (usia 0-2 tahun)
2)      Periode praoperasional (usia 2-7 tahun)
3)      Periode operasional konkrit (usia 7-11 tahun)
4)      Periode operasional formal (usia 11 tahun smpai dewasa)
b)      Karakteristik Siswa dari Sisi Fisiologis Otak
“Konsep baru tentang intelegensi dikembangkan oleh Gardner (1998) yang dikenal dengan multiple intelligences (beragam kecerdasan). Berkenaan dengan hal tersebut, Gardner menjelaskan bahwa intelegensi itu merupakan proses mengoperasikan sejumlah komponen dalam inteligensi yang memungkinkan individu mampu memecahkan masalah, menciptakan produk dan menemukan pengetahuan baru dalam rentang yang cukup luas.”
b.         Factor External
Factor external ini bisa berupa stimuli dari luar dirinya. “Menurut Bandura, anak usia tingkat MI cenderung belajar dengan cara modeling, yaitu mencontoh perilaku orang lain. Melalui interaksi social anak dapat belajar melalui pengamatan (observation learning).” Maka teori ini dikenal dengan nama Operant Conditioning.
Ada empat elemen penting yang menurut Bandura perlu diperhatikan dalam pembelajaran melalui pengamatan yaitu:
a)      Atensi
b)      Retensi
c)      Reproduksi
d)     Motivasi
Masa sekolah tingkat SD/MI bisa dibagi menjai dua fase, yaitu:
a)      Masa kelas-kelas rendah sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah sekitar enam tahun sampai dengan usia sekitar delapan tahun.
b)      Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar yaitu kira-kira sembilan sampai kira-kira usia dua belas.
Pada masing-masing fase tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Masa-masa kelas rendah siswa memiliki sifat-sifat khas sebagai berikut:
1)      Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi rohani.
2)      Adanya sikap yang cenderung untuk memenuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional.
3)      Ada kecenderungan memuji diri sendiri dan masih ada sifat egosentris.
4)      Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain untuk untuk meremehkan anak lain.
5)      Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.
6)      Pada masa ini anak menghendaki nilai dan angka rapor yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
7)      Kemampuan mengingat dan berbahasa berkembang sangat cepat dan mengagumkan.
8)      Hal-hal yang bersifat konkrit lebih mudah dipahami daripada yang abstrak.
9)      Kehidupan adalah bermain.
Dibawah ini merupakan karakteristik afektif umum anak pada fase kelas tinggi, dari kelas tiga sampai kelas enam di sekolah dasar yaitu:
1)    Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkrit.
2)    Amat realistic, ingin tahu dan ingin belajar.
3)    Ada minat terhadap hal-hal atau mata pelajaran khusus.
4)    Anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya.
5)    Pada masa ini anak memandang nilai, terutama angka rapor sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya.
6)    Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya.
7)    Peran manusia idola sangat penting.
Karakteristik umum siswa usia MI di atas tidak menutup adanya perbedaan-perbedaan tingkat kualitas dan kuantitas kepribadian siswa. Perbedaan-perbedaan yang biasa ditemui dikelas antara lain:
1)   Achievement: prestasi, kinerja skolastik.
2)   Anatomy: tinggi, berat, dan warna kulit.
3)   Emotion: stabilitas, percaya diri, kebijaksanaan dan ketekunan.
4)   Interest: hobi, sahabat dan aktivitas.
5)   Physiology: kemampuan menyimak, aktivitas visual, dan ketahanan.
6)   Pcychology: kecepatan reaksi, kecepatan asosiasi dan koordinasi.
7)   Social perspectives: suku, politik, agama, dan sikap ekonomi.[18]
11.  Ciri Khas Anak Usia SD/MI
1)      Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :
a)             Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.
b)             Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
c)             Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.
d)            Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.
e)             Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
f)              Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
g)             Hal-hal yang bersifat konkret lebih mudah dipahami ketimbang yang abstrak.
h)             Kehidupan adalah bermain. Bermain bagi anak usia ini adalah sesuai yang dibutuhkan dan dianggap serius. Bahkan anak tidak dapat membedakan secara jelas perbedaan bermain dengan bekerja
i)               Kemampuan mengingat (memory) dan berbahasa berkembang sangat cepat dan mengagumkan.
2)             Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :
a)             Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
b)             Sangat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
c)             Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
d)            Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
e)             Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.
f)              Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.
Pada masa anak MI merupakan masa dalam tahapan operasional konkret. Berpikir logis mengenai objek dan kejadian serta bersifat konkret. Strategi guru dalam pembelajaran pada anak sekolah dasar diusahakan juga kongkrit yaitu dengan:
a)      Menggunakan bahan-bahan yang konkret, misalnya barang/benda konkret.
b)      Gunakan alat visual, misalnya OHP/transparan.
c)      Gunakan contoh-contoh yang sudah akrab dengan anak dari hal yang bersifat sederhana ke yang kompleks.
d)     Menjamin penyajian yang singkat dan terorganisasi dengan baik.
e)      Berilah latihan nyata dalam menganalisis masalah atau kegiatan.


[1] Chabib Thoha (editor), PBM-PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 94-95
[2]    Max Darsono, dkk., Belajar dan Pembelajaran, (Semarang: CV. IKIP Semarang Press, 2000), hlm. 2
[3]    Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001), hlm. 57
[4]    http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/keguruan/belajar-mengajar-dan-pembelajaraan/
[5]    Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,  (Bandung : PT Remaja Rosdakarya ,2012)hlm.269
[6] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Konsep, Karakteristik dan Implementasi),(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 100
[7] Pupuh Fathurrahman & M. Sobry Sutikno. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Aditama, 2007 hal : 7-11
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,  Jakarta, Pusat Bahasa, 2008 hal. 27
[10] Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Dasar Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Negri Jakarta,2009). Hlm; 33
[11] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, ( Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012),hlm. 19
[12] Junaedi. dkk, Strategi Pembelajaran, (Surabaya: LAPIS-PGMI, 2008), hlm. 110
[13] Junaedi. dkk, Strategi Pembelajaran, Surabaya: LAPIS-PGMI,2008 hlm. 4.10 - 4.16
[14] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009. Hlm. 271
[15] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang  Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2009 hlm 257
[16]  Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 hlm. 683

Tidak ada komentar:

Posting Komentar