Beranda

Rabu, 28 Oktober 2015

HAKIKAT BELAJAR: TINJAUAN ISLAM DAN PSIKOLOGI



 HAKIKAT BELAJAR: TINJAUAN ISLAM DAN PSIKOLOGI

A.  Pengertian Psikologi Belajar
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang artinya jiwadan logo artinya ilmu. Maka, secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa atau lebih tepatnya ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi, dalam sejarah perkembangannya kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia. Ini disebabkan karena jiwa yang mengandung arti abstrak itu sangatlah sulit dipelajari secara obyektif. Kecuali itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah laku.[1]
Banyak pengertian mengenai psikologi yang dikemukakan oleh para ahli, namun dalam uraian ini ada beberapa pengertian psikologi, diantaranya:
a.       Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang aktivitas manusia (behaviorisme radikal). 
b.      Psikologi sebagai psikologi filsafat menurut Plato sekitar pada tahun 400 SM adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat dan hidup jiwa manusia.
c.       Psikologi menurut aliran ilmu-ilmu pengetahuan alam/empiris dan rasionalisme abad XVII adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kesadaran atau gejala-gejala kesadaran.
d.      Psikologi menurut aliran psikologi-dalam (freudianisme) adalah ilmu yang mempelajari baik gejala-gejala kesadaran maupun gejala-gejala ketidaksadaran serta gejala-gejala dibawah sadar.[2]
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dalam mana individu tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Pelaksanaan secara ilmiah. daripada psikologi dilakukan dengan jalan mengumpulkan dan mencatat serta teliti tingkah laku manusia selengkap mungkin, dan berusa menjauhkan diri dari segala prasangka. Sehingga orang mendapatkan jawaban yang tepercaya menganai pelbagai pertanyaan teoritis dan praktis. ( Robert s. Wood-worth.)
Psikologi menurut Mac Dougall pada awal abad ke-20 adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau human behavior. Karena itu psikologi di golongkan dalam aliran behaviorism. Aliran ini diwakili oleh tokoh-tokoth Mac Dougllas, Throndike, dan Waston dari Amerika serikat, dan A.Pavlov serta Von Bechterew dari Rusia.
Sebelum membahas pengertian belajar, perlu sekali memahami tentang perintah belajar terlebih dahulu. Belajar adalah proses perubahan menuju arah yang positif. Adapun perintah belajar tercantum dalam Q.S Al-`Alaq yang berbunyi:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ [٩٦:١] خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ [٩٦:٢] اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ [٩٦:٣ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ [٩٦:٤] عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ [٩٦:٥]
Artinya: Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sekalian makhluk (1). Yang menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah (3). Yang mengajarkan manusia melalui pena dan tulisan (4). DIA mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5).
Jadi, dalam ajaran Islam, belajar adalah perintah penting karena Nabi SAW saja belajar. Maka sudah sepantasnya kita juga belajar agar dapat menjadi umat yang mengikuti nabinya. Dalam ayat terebut juga, manusia dituntun agar selalu mendahulukan Allah dalam segala kegiatan kita, termasuk belajar. Oleh karenanya, sangat bagus sekali ketika sebelum memulai pembelajaran, agar berdo`a kepada Allah SWT terlebih dahulu.
            Belajar adalah perubahan perilaku, sedangkan perilaku itu adalah tindakan yang dapat diamati. Dengan kata lain, perilaku adalah satu tindakan yang dapat diamati atau hasil yang diakibatkan oleh tindakan atau beberapa tindakan yang dapat diamati.[3] Dalam pengertian ini, berarti belajar adalah perubahan perilaku yang diamati. Atau bisa juga ditambahkan, belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati menuju arah yang lebih baik. Pengertian lainnya bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran.[4]
Sedangkan pembelajaran adalah kegiatan belajar dan mengajar antara guru dan siswanya. Guru sebagai orang yang memberikan pengajaran dan siswa sebagai orang yang siap menerima pengajaran. Teori Behavioristik, mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respons (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah dan atau reinforcement (penguatan).[5]Sementara itu, menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
            Sedangkan dari dua kata apabila digabungkan yakni psikologi dan belajar, maka menjadi psikologi belajar. Maksudnya adalah sebuah disiplin psikologi yang berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana cara individu belajar atau melakukan pembelajaran.[6] Jadi dari uraian-uraian diatas dapat dikatakan bahwa hakikat psikologi belajar bermaksud memahami makna belajar dari kacamata psikologi dan menerapkan psikologi dalam belajar. Sehingga nanti akan dipelajari lebih dalam mengenai psikologi dalam proses pembelajaran.

B.       Aspek atau Ruang Lingkup Psikologi Belajar
Setiap disiplin ilmu yang ada seluruhnya memiliki ruang lingkup pembahasan masing-masing. Sehingga apa yang akan dikaji dalam suatu topik tidak akan keluar dari pembahasan pokoknya, dan ini menjadikan suatu disiplin ilmu tersebut menjadi tepat sasaran bahasannya dan sebagainya. Dan ruang lingkup juga tidak hanya dalam materi perkuliahan dan sekolah-sekolah saja, melainkan juga yang bukan dari itu. Oleh karenanya, agar lebih tahu sedikit tentang ruang lingkup, berikut akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertiannya.
Ruang lingkup adalah batasan. Ruang lingkup juga dapat dikemukakan pada bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi atau subyek penelitian dan lokasi penelitian. Penggambaran ruang lingkup dapat kita nilai dari data karakteristik responden perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang bagaimana keadaan responden penelitian yang dilakukan, yang boleh jadi diperlukan untuk melihat data hasil pengukuran variabel-variabel pengukuran yang diteliti.Lebih jelasnya ruang lingkup adalah suatu batasan dalam sebuah pembahasan materi atau sesuatu agar tidak keluar dari alur pembahasan, dan selalu terkait dalam tema yang bersangkutan.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang merupakan cabang dari psikologi, yang kajiannya dikhususkan pada masalah belajar, maka psikologi belajar memiliki ruang lingkup disekitar masalah belajar saja. Oleh karenanya, tidak aneh apabila ruang lingkup psikologi belajar terdapat juga dalam kajian psikologi pendidikan. Ini dikarenakan, psikologi pendidikan sebagai ilmu terapan berusaha menerangkan masalah belajar menurut prinsip-prinsip dan fakta-fakta mengenai tingkah laku manusia yang telah ditentukan secara ilmiah. Karenanya, masalah belajar mendapat sorotan yang besar dalam psikologi pendidikan.
Psikologi belajar memiliki ruang lingkup yang secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu masalah belajar, proses belajar dan situasi belajar. Berikut uraian-uraian mengenai hal tersebut.[7]
1.    Pokok Bahasan Mengenai Belajar
Ada beberapa pokok bahasan mengenai belajar, yaitu:
a.       Teori-teori belajar.
b.      Prinsip-prinsip belajar.
c.       Hakikat belajar.
d.      Jenis-jenis belajar.
e.       Aktivitas-aktivitas belajar.
f.       Teknik belajar efektif.
g.      Karakteristik perubahan hasil belajar.
h.      Manifestasi perilaku belajar.
i.        Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
2.    Pokok Bahasan Mengenai Proses Belajar
Berikut ini pokok bahasan mengenai proses belajar, yaitu:
a.       Tahapan perbuatan belajar.
b.      Perubahan-perubahan jiwa yang terjadi selama belajar.
c.       Pengaruh pengalaman belajar terhadap perilaku individu.
d.      Pengaruh motivasi terhadap perilaku belajar.
e.       Signifikansi perbedaan individual dalam kecepatan memproses kesan dan keterbatasan kapasitas individu dalam belajar.
f.       Masalah proses lupa dan kemampuan individu memproses perolehannya melalui transfer belajar.
3.    Pokok Bahasan Mengenai Situasi Belajar
Adapun pokok bahasan mengenai situasi belajarnya, yakni:
a.       Suasana dan keadaan lingkungan fisik.
b.      Suasana dan keadaan lingkungan non-fisik.
c.       Suasana dan keadaan lingkungan sosial.
d.      Suasana dan keadaan lingkungan non-sosial.
   Ruang lingkup yang disebutkan diatas merupakan persoalan dan pokok pembahasan yang akan menjadi kajian bersama dalam mempelajari psikologi belajar.

C.  Hakikat Belajar Menurut Tinjauan Psikologi
Sebelum membahas mengenai apa hakikat belajar, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai makna hakikat itu sendiri. Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna yang sepadan dengan pengertian tersebut. Akan tetapi, tidaklah cukup apabila hanya mengacu kepada pengertian yang sederhana seperti demikian. Oleh karenanya, penting sekiranya dilakukan kajian mendalam agar pemahaman mengenai hakikat dapat dimengerti secara luas. Namun, dalam uraian ini tidak akan diberikan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian hakikat, karena dalam memahami hakikat juga banyak pembahasan didalamnya.
Hakikat merupakan syarat eksistensi. Lebih luas lagi beliau menguraikan bahwa hakikat tidak lain adalah  sesuatu yang mesti ada pada sesuatu  yang jikalau sesuatu itu tidak ada maka sesuatu  itu pun tidak wujud. Sesuatu yang digaris bawahi adalah simbol-simbol bereksistensi tapi eksistensinya ditentukan dalam sesuatu yang huruf besar. Sesuatu yang ditulis huruf besar itulah syarat yang menentukan adanya sesuatu yang digaris bawahi.[8]
Dari uraian tentang makna hakikat diatas cukuplah mewakili pengertian hakikat secara sederhananya. Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakikat merupakan makna sebenarnya dari segala sesuatu yang menjadi dasar keberadaan sesuatu.Belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang teradi pada diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.[9]
Belajar meliputi tidak hanya mata pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyusunan sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita. Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.Tidak semua perubahan perilaku berarti belajar. Orang yang tangannya patah karena kecelakaan mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan tangan itu sendiri bukanlah belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan belajar untuk mengimbangi tangannya yang hilang itu dengan mempelajari keterampilan-keterampilan baru.
Perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali menjadi seseorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah berarti perbaikan.Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas, Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktifitas, praktek, dan pengalaman.[10]
Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih baik atau pun yang kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal lain yang juga selalu terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.Unsur perubahan dan pengalaman hampir selalu ditekankan dalam rumusan atau definisi tentang belajar, yang dikemukakan para ahli. Menurut Witherington (1952 h. 165) yang dikutip oleh Nana Syaodih “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Crow and Crow dan Hilgard. Menurut Crow and Crow (1958 h. 225) “belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”, sedang menurut Hilgard (1962 h. 252) “belajar adalah suatu proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”.[11]
Pada hakikatnya belajar merupakan proses kognitif yang mendapat dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor dalam hal ini meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan. Apapun jenis dan manifestasi belajar yang dilakukan siswa, hampir dapat dipastikan selalu melibatkan fungsi ranah akalnya yang intensitas penggunaannya tentu berbeda antara satu peristiwa belajar dengan peristiwa belajar lainnya.[12]
Pada umumnya para ahli psikologi belajar khususnya mereka yang tergolong cognitivist (ahli sains kognitif) sepakat bahwa hubungan antara belajar, memori, dan pengetahuan itu sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan. Memori yang biasanya kita artikan sebagai ingatan itu sesungguhnya adalah fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan ia merupakan storagesystem, yakni sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat di dalam otak manusia.
Menurut Bruno (1987), memori ialah proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan yang semuannya terpusat dalam otak. Bagaimana hubungannya dengan belajar, dapat anda ketahui dari contoh berikut.Apabila siswa anda menerima pelajaran tentang Allah, maka mula-mula informasi tentang Tuhan semesta alam ini akan masuk ke dalam short term memory atau working memory/ memori jangka pendek melalui indera mata (dengan cara melihat simbol/tulisan nama Allah). Kemudian, informasi mengenai Tuhan itu diberi kode misalnya dalam bentuk simbol-simbol Allah SWT. Setelah selesai proses pengkodean (encoding), informasi itu masuk dan tersimpan di dalam long term memory atau permanent memory yakni memori jangka panjang atau permanen. Suatu saat kelak, apabila siswa anda tadi memerlukan informasi mengenai Tuhan yang wajib disembah itu, misalnya untuk menjawab pertanyaan adna, maka memorinya akan kembali bekerja atau berproses mencari respons dari kumpulan item-item informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam salah satu skema yang relevan. Skema (skema kognitif) adalah semacam file yang berisi informasi dan pengetahuan sejenis seperti linguistic schema untuk memahami kalimat; cultural schema untuk menafsirkan mitos dan kepercayaan adat; dan seterusnya. Skema-skema ini berada dalam sebuah kumpulan yang disebut schemata atau schemas (jamak dari schema) yang tersimpan dalam subsistem akal permanen manusia. Jadi, kalau kita analogikan dengan komputer, schemata itu kurang lebih ibarat folder atau directory yang berisi file-file yang masing-masing memiliki tipe, nama, dan kandungan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kalau kita memerlukan informasi mengenai sesuatu, kita cari namafile yang relevan dari direktori/ folder, lalu kita klik untuk membuka file atau memunculkan file yang berisi informasi tadi pada layar monitor.
Proses pencarian respons yang dilakukan siswa amda untuk memperoleh jawaban mengenai siapa Tuhan Yang Maha Esa tadi, jika sukses, maka ia akan berkata, “Allah”. Inilah peritiwa kognitif yang disebut recall atau retrieval, yakni hal memperoleh kembali informasi/pengetahuan yang terstruktur dalam sistem schemata (skema-skema) yang terdapat dalam ranah cipta siswa anda.[13]

D.  Hakikat Belajar Menurut Tinjauan Islam
Agaknya tidak ada satu pun agama, termasuk Islam, yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, proses kerja sistem memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan oleh manusia. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qulun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.[14]
Berikut ini kutipan firman-firman Allah, baik yang secara eksplisit maupun implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan. Allah berfirman:
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
 …“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Al-Zumar: 9)
Dalam ayat ini Allah berusaha menekankan perbedaan orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan orang yang berilmu itu berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Dan hanya orang-orang yang mempunyai akallah yang bisa menerima pelajaran. Jadi orang yang tidak berakal susah untuk bisa menerima pelajaran yang diajarkan.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا .
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Isra: 36)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kita sebagai umat manusia janganlah membiasakan diri untuk tidak mengetahui, dalam hal ini jangan sampai kita terbiasa tidak tahu pada hal-hal yang seharusnya kita bisa mencari tahunya, sehingga kita tahu. Tentu saja caranya yaitu dengan belajar.
Tuhan memberikan potensi kepada manusia yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Potensi-potensi tersebut terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yang berfunsi sebagai alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.    Indera penglihat (mata), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi visual.
b.    Indera pendengar (telinga), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi verbal.
c.    Akal, yakni potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap, mengolah, menyimpan, dan memproduksi kembali item-item informasi dan pengetahuan (ranah kognitif).[15]
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis itu dalam hubungannya dengan kegiatan belajar merupakan subsistem-subsstem yang satu sama lain berhubungan secara fungsional. Allah berfirman:
 وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. Al-Nahl:78).
Demikian pentingnya daya nalar akal dalam perspektif ajaran Islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan peringatan Tuhan. Allah berfirman:
 وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala" (Q.S. Al-Mulk: 10).[16]
Sehubungan dengan hal itu, perlu diketahui bahwa hati dalam perspektif disiplin ilmu apa pun tidak memiliki fungsi mental seperti otak, oleh karenanya, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi bidang studi apapun, seyogianya ditanamkan sebaik-baiknya ke dalam sistem memori para siswa, bukan ke dalam hati mereka.[17]
Orang yang memiliki ilmu sangat tinggi kedudukannya disisi Allah swt., sebagaimana firman Allah:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُبِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
....Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Oleh karena itu lah Islam sangat menganjurkan belajar, karena dengan belajar kita bisa memiliki ilmu yang bermanfaat, dengan ilmu seseorang akan merasa aman. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:
الْعِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ, الْعِلْمُ يَحْرُسُكَ, وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ.
”Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan kamu akan menjaga harta”.[18]
Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat dianjurkan untuk pergi meninggalkan kampung halaman jika di tempatnya tidak menemukan guru untuk dia belajar. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ruslan dalam Syairnya:
مَنْ لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ ذَا فَلْيَسْـأَلِ # مَنْ لَمْ يَجِدْ مُعَلِّمًا فَلْيَرْحَلِ
“Barang siapa yang tidak mengetahui tentang sesuatu maka sebaiknya bertanya # Barang siapa yang tidak menemukan guru maka sebaiknya bepergian”
Muhammad Al-Ahdal menjelaskan di dalam bukunya bahwasanya maksud “bepergian” diatas adalah “untuk belajar”.[19]
Ilmu tidak bisa didapatkan dengan santai dan hanya menunggu di rumah, kita harus keluar mencari dan menuntut sehingga kita mendapatkan ilmu yang kita inginkan.
عَبْدُ اللهِ بنُ يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أبِى يَقُوْلُ لَا يُسْتَطَاعُ اْلعِلْمُ بِرَاحَةِ اْلجِسْمِ
Abdullah bin Yahya bin Abu Katsir, dia berkata; aku mendengar ayah ku berkata; “Ilmu itu tidak bisa diraih dengan mengistirahatkan badan (ogah-ogahan)”.[20]
Imam Syafi’i berkata dalam syairnya yang dikutip oleh Ali Baharun dalam bukunya:
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً # تَجَرَّعْ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ # فَكَبِّرْ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
“Siapa yang tidak merasakan pahitnya menuntut ilmu meskipun sekejap mata, Niscaya dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya, Dan barangsiapa yang ketinggalan belajar di masa mudanya, Maka ucapkanlah takbir empat kali karena kematiannya”.[21]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar