HAKIKAT BELAJAR: TINJAUAN ISLAM DAN PSIKOLOGI
A.
Pengertian
Psikologi Belajar
Psikologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang artinya jiwadan logo artinya
ilmu. Maka, secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa atau lebih tepatnya ilmu
yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi, dalam sejarah
perkembangannya kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tentang
tingkah laku manusia. Ini disebabkan karena jiwa yang mengandung arti abstrak
itu sangatlah sulit dipelajari secara obyektif. Kecuali itu keadaan jiwa
seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah laku.[1]
Banyak
pengertian mengenai psikologi yang dikemukakan oleh para ahli, namun dalam
uraian ini ada beberapa pengertian psikologi, diantaranya:
a.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang aktivitas
manusia (behaviorisme radikal).
b.
Psikologi sebagai psikologi filsafat menurut Plato
sekitar pada tahun 400 SM adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat,
hakikat dan hidup jiwa manusia.
c.
Psikologi menurut aliran ilmu-ilmu pengetahuan
alam/empiris dan rasionalisme abad XVII adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari kesadaran atau gejala-gejala kesadaran.
d. Psikologi
menurut aliran psikologi-dalam (freudianisme) adalah ilmu yang
mempelajari baik gejala-gejala kesadaran maupun gejala-gejala ketidaksadaran
serta gejala-gejala dibawah sadar.[2]
Psikologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan
individu, dalam mana individu tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan.
Pelaksanaan secara ilmiah. daripada psikologi dilakukan dengan jalan
mengumpulkan dan mencatat serta teliti tingkah laku manusia selengkap mungkin,
dan berusa menjauhkan diri dari segala prasangka. Sehingga orang mendapatkan
jawaban yang tepercaya menganai pelbagai pertanyaan teoritis dan praktis. (
Robert s. Wood-worth.)
Psikologi
menurut Mac Dougall pada awal abad ke-20 adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia atau human behavior. Karena itu psikologi di golongkan
dalam aliran behaviorism. Aliran ini diwakili oleh tokoh-tokoth Mac Dougllas,
Throndike, dan Waston dari Amerika serikat, dan A.Pavlov serta Von Bechterew
dari Rusia.
Sebelum
membahas pengertian belajar, perlu sekali memahami tentang perintah belajar
terlebih dahulu. Belajar adalah proses perubahan menuju arah yang positif.
Adapun perintah belajar tercantum dalam Q.S Al-`Alaq yang berbunyi:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ [٩٦:١] خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ [٩٦:٢] اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ [٩٦:٣ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ [٩٦:٤] عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ [٩٦:٥]
Artinya: “Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sekalian
makhluk (1). Yang menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah dan
Tuhanmu Maha Pemurah (3). Yang mengajarkan manusia melalui pena dan tulisan
(4). DIA mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Jadi, dalam ajaran Islam,
belajar adalah perintah penting karena Nabi SAW saja belajar. Maka sudah
sepantasnya kita juga belajar agar dapat menjadi umat yang mengikuti nabinya.
Dalam ayat terebut juga, manusia dituntun agar selalu mendahulukan Allah dalam
segala kegiatan kita, termasuk belajar. Oleh karenanya, sangat bagus sekali
ketika sebelum memulai pembelajaran, agar berdo`a kepada Allah SWT terlebih
dahulu.
Belajar adalah perubahan perilaku, sedangkan perilaku itu adalah tindakan
yang dapat diamati. Dengan kata lain, perilaku adalah satu tindakan yang dapat
diamati atau hasil yang diakibatkan oleh tindakan atau beberapa tindakan yang
dapat diamati.[3]
Dalam pengertian ini, berarti belajar adalah perubahan perilaku yang diamati.
Atau bisa juga ditambahkan, belajar adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati menuju arah yang lebih baik. Pengertian lainnya bahwa belajar adalah
semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam
bentuk informasi/materi pelajaran.[4]
Sedangkan pembelajaran
adalah kegiatan belajar dan mengajar antara guru dan siswanya. Guru sebagai
orang yang memberikan pengajaran dan siswa sebagai orang yang siap menerima
pengajaran. Teori Behavioristik, mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha guru
membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan
(stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respons (tingkah laku yang
diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah
dan atau reinforcement (penguatan).[5]Sementara
itu, menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sedangkan dari dua kata apabila digabungkan yakni psikologi dan belajar,
maka menjadi psikologi belajar. Maksudnya adalah sebuah disiplin psikologi yang
berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana cara
individu belajar atau melakukan pembelajaran.[6]
Jadi dari uraian-uraian diatas dapat dikatakan bahwa hakikat psikologi belajar
bermaksud memahami makna belajar dari kacamata psikologi dan menerapkan
psikologi dalam belajar. Sehingga nanti akan dipelajari lebih dalam mengenai
psikologi dalam proses pembelajaran.
B.
Aspek atau Ruang Lingkup Psikologi Belajar
Setiap disiplin ilmu yang ada seluruhnya memiliki ruang lingkup pembahasan
masing-masing. Sehingga apa yang akan dikaji dalam suatu topik tidak akan
keluar dari pembahasan pokoknya, dan ini menjadikan suatu disiplin ilmu
tersebut menjadi tepat sasaran bahasannya dan sebagainya. Dan ruang lingkup
juga tidak hanya dalam materi perkuliahan dan sekolah-sekolah saja, melainkan
juga yang bukan dari itu. Oleh karenanya, agar lebih tahu sedikit tentang ruang
lingkup, berikut akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertiannya.
Ruang lingkup adalah batasan. Ruang lingkup juga dapat dikemukakan pada
bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi atau subyek penelitian dan
lokasi penelitian. Penggambaran ruang lingkup dapat kita nilai dari data
karakteristik responden perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang
komprehensif tentang bagaimana keadaan responden penelitian yang dilakukan,
yang boleh jadi diperlukan untuk melihat data hasil pengukuran
variabel-variabel pengukuran yang diteliti.Lebih jelasnya ruang lingkup adalah
suatu batasan dalam sebuah pembahasan materi atau sesuatu agar tidak keluar
dari alur pembahasan, dan selalu terkait dalam tema yang bersangkutan.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang merupakan cabang dari psikologi, yang
kajiannya dikhususkan pada masalah belajar, maka psikologi belajar memiliki
ruang lingkup disekitar masalah belajar saja. Oleh karenanya, tidak aneh
apabila ruang lingkup psikologi belajar terdapat juga dalam kajian psikologi
pendidikan. Ini dikarenakan, psikologi pendidikan sebagai ilmu terapan berusaha
menerangkan masalah belajar menurut prinsip-prinsip dan fakta-fakta mengenai
tingkah laku manusia yang telah ditentukan secara ilmiah. Karenanya, masalah
belajar mendapat sorotan yang besar dalam psikologi pendidikan.
Psikologi belajar memiliki ruang lingkup yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu masalah belajar, proses belajar dan
situasi belajar. Berikut uraian-uraian mengenai hal tersebut.[7]
1.
Pokok Bahasan Mengenai Belajar
Ada beberapa pokok bahasan mengenai belajar, yaitu:
a.
Teori-teori belajar.
b.
Prinsip-prinsip belajar.
c.
Hakikat belajar.
d.
Jenis-jenis belajar.
e.
Aktivitas-aktivitas belajar.
f.
Teknik belajar efektif.
g.
Karakteristik perubahan hasil belajar.
h.
Manifestasi perilaku belajar.
i.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
2.
Pokok Bahasan Mengenai Proses Belajar
Berikut ini pokok bahasan mengenai proses belajar, yaitu:
a.
Tahapan perbuatan belajar.
b.
Perubahan-perubahan jiwa yang terjadi selama belajar.
c.
Pengaruh pengalaman belajar terhadap perilaku individu.
d.
Pengaruh motivasi terhadap perilaku belajar.
e.
Signifikansi perbedaan individual dalam kecepatan memproses kesan dan
keterbatasan kapasitas individu dalam belajar.
f.
Masalah proses lupa dan kemampuan individu memproses perolehannya melalui
transfer belajar.
3.
Pokok Bahasan Mengenai Situasi Belajar
Adapun pokok bahasan mengenai situasi belajarnya, yakni:
a.
Suasana dan keadaan lingkungan fisik.
b.
Suasana dan keadaan lingkungan non-fisik.
c.
Suasana dan keadaan lingkungan sosial.
d.
Suasana dan keadaan lingkungan non-sosial.
Ruang lingkup yang disebutkan diatas merupakan persoalan dan pokok
pembahasan yang akan menjadi kajian bersama dalam mempelajari psikologi
belajar.
C. Hakikat
Belajar Menurut Tinjauan Psikologi
Sebelum membahas mengenai apa hakikat belajar,
terlebih dahulu akan diuraikan mengenai makna hakikat itu sendiri. Secara
sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi,
yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna
yang sepadan dengan pengertian tersebut. Akan tetapi, tidaklah cukup apabila
hanya mengacu kepada pengertian yang sederhana seperti demikian. Oleh
karenanya, penting sekiranya dilakukan kajian mendalam agar pemahaman mengenai
hakikat dapat dimengerti secara luas. Namun, dalam uraian ini tidak akan
diberikan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian hakikat, karena dalam
memahami hakikat juga banyak pembahasan didalamnya.
Hakikat merupakan syarat eksistensi. Lebih luas
lagi beliau menguraikan bahwa hakikat tidak lain adalah sesuatu yang
mesti ada pada sesuatu yang jikalau sesuatu itu tidak ada
maka sesuatu itu pun tidak wujud. Sesuatu yang digaris bawahi
adalah simbol-simbol bereksistensi tapi eksistensinya ditentukan dalam sesuatu
yang huruf besar. Sesuatu yang ditulis huruf besar itulah syarat yang
menentukan adanya sesuatu yang digaris bawahi.[8]
Dari uraian tentang makna hakikat diatas
cukuplah mewakili pengertian hakikat secara sederhananya. Jadi, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hakikat merupakan makna sebenarnya dari segala sesuatu
yang menjadi dasar keberadaan sesuatu.Belajar pada hakikatnya adalah “perubahan”
yang teradi pada diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas
belajar. Walaupun kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar.
Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.[9]
Belajar meliputi tidak hanya mata pelajaran,
tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyusunan
sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita. Belajar mengandung
pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga
perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara
lebih lengkap.Tidak semua perubahan perilaku berarti belajar. Orang yang
tangannya patah karena kecelakaan mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan
tangan itu sendiri bukanlah belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan
belajar untuk mengimbangi tangannya yang hilang itu dengan mempelajari
keterampilan-keterampilan baru.
Perubahan tidak selalu harus menghasilkan
perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali
menjadi seseorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah
berarti perbaikan.Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di
atas, Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam
perbuatan melalui aktifitas, praktek, dan pengalaman.[10]
Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan
pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih baik atau
pun yang kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal lain yang juga selalu
terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi
dengan orang lain atau lingkungannya.Unsur perubahan dan pengalaman hampir
selalu ditekankan dalam rumusan atau definisi tentang belajar, yang dikemukakan
para ahli. Menurut Witherington (1952 h. 165) yang dikutip oleh Nana Syaodih
“belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai
pola-pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan dan kecakapan”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Crow and
Crow dan Hilgard. Menurut Crow and Crow (1958 h. 225) “belajar adalah
diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”, sedang menurut
Hilgard (1962 h. 252) “belajar adalah suatu proses di mana suatu perilaku
muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”.[11]
Pada hakikatnya belajar merupakan proses
kognitif yang mendapat dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor
dalam hal ini meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan. Apapun jenis dan
manifestasi belajar yang dilakukan siswa, hampir dapat dipastikan selalu
melibatkan fungsi ranah akalnya yang intensitas penggunaannya tentu berbeda
antara satu peristiwa belajar dengan peristiwa belajar lainnya.[12]
Pada umumnya para ahli psikologi belajar
khususnya mereka yang tergolong cognitivist (ahli sains kognitif)
sepakat bahwa hubungan antara belajar, memori, dan pengetahuan itu sangat erat
dan tidak mungkin dipisahkan. Memori yang biasanya kita artikan sebagai ingatan
itu sesungguhnya adalah fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus,
dan ia merupakan storagesystem, yakni sistem penyimpanan informasi dan
pengetahuan yang terdapat di dalam otak manusia.
Menurut Bruno (1987), memori ialah proses
mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi
dan pengetahuan yang semuannya terpusat dalam otak. Bagaimana hubungannya
dengan belajar, dapat anda ketahui dari contoh berikut.Apabila siswa anda
menerima pelajaran tentang Allah, maka mula-mula informasi tentang Tuhan
semesta alam ini akan masuk ke dalam short term memory atau working
memory/ memori jangka pendek melalui indera mata (dengan cara melihat
simbol/tulisan nama Allah). Kemudian, informasi mengenai Tuhan itu diberi kode
misalnya dalam bentuk simbol-simbol Allah SWT. Setelah selesai proses
pengkodean (encoding), informasi itu masuk dan tersimpan di dalam long
term memory atau permanent memory yakni memori jangka panjang atau
permanen. Suatu saat kelak, apabila siswa anda tadi memerlukan informasi
mengenai Tuhan yang wajib disembah itu, misalnya untuk menjawab pertanyaan
adna, maka memorinya akan kembali bekerja atau berproses mencari respons dari
kumpulan item-item informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam salah satu skema
yang relevan. Skema (skema kognitif) adalah semacam file yang berisi
informasi dan pengetahuan sejenis seperti linguistic schema untuk
memahami kalimat; cultural schema untuk menafsirkan mitos dan
kepercayaan adat; dan seterusnya. Skema-skema ini berada dalam sebuah kumpulan
yang disebut schemata atau schemas (jamak dari schema)
yang tersimpan dalam subsistem akal permanen manusia. Jadi, kalau kita
analogikan dengan komputer, schemata itu kurang lebih ibarat folder
atau directory yang berisi file-file yang masing-masing memiliki
tipe, nama, dan kandungan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kalau kita
memerlukan informasi mengenai sesuatu, kita cari namafile yang relevan
dari direktori/ folder, lalu kita klik untuk membuka file atau
memunculkan file yang berisi informasi tadi pada layar monitor.
Proses pencarian respons yang dilakukan siswa
amda untuk memperoleh jawaban mengenai siapa Tuhan Yang Maha Esa tadi, jika
sukses, maka ia akan berkata, “Allah”. Inilah peritiwa kognitif yang disebut recall
atau retrieval, yakni hal memperoleh kembali informasi/pengetahuan yang
terstruktur dalam sistem schemata (skema-skema) yang terdapat dalam
ranah cipta siswa anda.[13]
D. Hakikat
Belajar Menurut Tinjauan Islam
Agaknya tidak ada satu pun agama, termasuk
Islam, yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar,
proses kerja sistem memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan
ketrampilan oleh manusia. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori
(indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas.
Kata-kata kunci, seperti ya’qulun, yatafakkarun, yubshirun,
yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan
bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam
belajar dan meraih ilmu pengetahuan.[14]
Berikut ini kutipan firman-firman Allah, baik
yang secara eksplisit maupun implisit mewajibkan orang untuk belajar agar
memperoleh ilmu pengetahuan. Allah berfirman:
…قُلۡ هَلۡ
يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
…“Katakanlah: Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S.
Al-Zumar: 9)
Dalam ayat ini Allah berusaha menekankan
perbedaan orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Hal ini menunjukkan
bahwa kedudukan orang yang berilmu itu berbeda dengan orang yang tidak berilmu.
Orang yang berilmu itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Dan hanya
orang-orang yang mempunyai akallah yang bisa menerima pelajaran. Jadi orang
yang tidak berakal susah untuk bisa menerima pelajaran yang diajarkan.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَا تَقۡفُ
مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا .
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S.
Al-Isra: 36)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kita
sebagai umat manusia janganlah membiasakan diri untuk tidak mengetahui, dalam
hal ini jangan sampai kita terbiasa tidak tahu pada hal-hal yang seharusnya
kita bisa mencari tahunya, sehingga kita tahu. Tentu saja caranya yaitu dengan
belajar.
Tuhan memberikan potensi kepada manusia yang
bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri.
Potensi-potensi tersebut terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yang
berfunsi sebagai alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Indera penglihat (mata), yakni alat fisik yang
berguna untuk menerima informasi visual.
b.
Indera pendengar (telinga), yakni alat fisik
yang berguna untuk menerima informasi verbal.
c.
Akal, yakni potensi kejiwaan manusia berupa
sistem psikis yang kompleks untuk menyerap, mengolah, menyimpan, dan
memproduksi kembali item-item informasi dan pengetahuan (ranah kognitif).[15]
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis itu dalam
hubungannya dengan kegiatan belajar merupakan subsistem-subsstem yang satu sama
lain berhubungan secara fungsional. Allah berfirman:
وَٱللَّهُ
أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. Al-Nahl:78).
Demikian pentingnya daya nalar akal dalam
perspektif ajaran Islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni
neraka karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan
peringatan Tuhan. Allah berfirman:
وَقَالُواْ لَوۡ
كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan mereka
berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala" (Q.S. Al-Mulk:
10).[16]
Sehubungan dengan hal itu, perlu diketahui
bahwa hati dalam perspektif disiplin ilmu apa pun tidak memiliki fungsi mental
seperti otak, oleh karenanya, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral
yang terkandung dalam materi bidang studi apapun, seyogianya ditanamkan
sebaik-baiknya ke dalam sistem memori para siswa, bukan ke dalam hati mereka.[17]
Orang yang memiliki ilmu sangat tinggi
kedudukannya disisi Allah swt., sebagaimana firman Allah:
… يَرۡفَعِ ٱللَّهُٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُبِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
“....Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat” (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Oleh karena itu lah Islam sangat menganjurkan
belajar, karena dengan belajar kita bisa memiliki ilmu yang bermanfaat, dengan
ilmu seseorang akan merasa aman. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Thalib
berkata:
الْعِلْمُ
خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ, الْعِلْمُ يَحْرُسُكَ,
وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ.
”Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu akan
menjagamu, sedangkan kamu akan menjaga harta”.[18]
Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat
dianjurkan untuk pergi meninggalkan kampung halaman jika di tempatnya tidak
menemukan guru untuk dia belajar. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ruslan dalam
Syairnya:
مَنْ لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ ذَا
فَلْيَسْـأَلِ # مَنْ لَمْ يَجِدْ مُعَلِّمًا فَلْيَرْحَلِ
“Barang siapa yang tidak mengetahui tentang
sesuatu maka sebaiknya bertanya # Barang siapa yang tidak menemukan guru maka
sebaiknya bepergian”
Muhammad Al-Ahdal menjelaskan di dalam bukunya
bahwasanya maksud “bepergian” diatas adalah “untuk belajar”.[19]
Ilmu tidak bisa didapatkan dengan santai dan
hanya menunggu di rumah, kita harus keluar mencari dan menuntut sehingga kita
mendapatkan ilmu yang kita inginkan.
عَبْدُ اللهِ بنُ يَحْيَى بْنُ أَبِى
كَثِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أبِى يَقُوْلُ لَا يُسْتَطَاعُ اْلعِلْمُ بِرَاحَةِ
اْلجِسْمِ
Abdullah bin Yahya bin Abu Katsir, dia berkata;
aku mendengar ayah ku berkata; “Ilmu itu tidak bisa diraih dengan
mengistirahatkan badan (ogah-ogahan)”.[20]
Imam Syafi’i berkata dalam syairnya yang
dikutip oleh Ali Baharun dalam bukunya:
مَنْ
لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً # تَجَرَّعْ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ
حَيَاتِهِ
وَمَنْ
فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ # فَكَبِّرْ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
“Siapa yang tidak
merasakan pahitnya menuntut ilmu meskipun sekejap mata, Niscaya dia akan
merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya, Dan barangsiapa yang
ketinggalan belajar di masa mudanya, Maka ucapkanlah takbir empat kali karena
kematiannya”.[21]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar